Is Our Life

Saturday, December 23, 2006

Izinkan Aku Menciummu, Ibu

Sewaktu masih kecil, aku sering merasa dijadikan
pembantu olehnya. Ia selalu menyuruhku mengerjakan
tugas-tugas seperti menyapu lantai dan mengepelnya
setiap pagi dan sore. Setiap hari, aku ‘dipaksa’
membantunya memasak di pagi buta sebelum ayah dan
adik-adikku bangun. Bahkan sepulang sekolah, ia tak
mengizinkanku bermain sebelum semua pekerjaan rumah
dibereskan. Sehabis makan, aku pun harus mencucinya
sendiri juga piring bekas masak dan makan yang lain.
Tidak jarang aku merasa kesal dengan semua beban yang
diberikannya hingga setiap kali mengerjakannya aku
selalu bersungut-sungut.

Kini, setelah dewasa aku mengerti kenapa dulu ia
melakukan itu semua. Karena aku juga akan menjadi
seorang istri dari suamiku, ibu dari anak-anakku yang
tidak akan pernah lepas dari semua pekerjaan masa
kecilku dulu. Terima kasih ibu, karena engkau aku
menjadi istri yang baik dari suamiku dan ibu yang
dibanggakan oleh anak-anakku.

Saat pertama kali aku masuk sekolah di Taman
Kanak-Kanak, ia yang mengantarku hingga masuk ke dalam
kelas. Dengan sabar pula ia menunggu. Sesekali kulihat
dari jendela kelas, ia masih duduk di seberang sana.
Aku tak peduli dengan setumpuk pekerjaannya di rumah,
dengan rasa kantuk yang menderanya, atau terik, atau
hujan. Juga rasa jenuh dan bosannya menunggu. Yang
penting aku senang ia menungguiku sampai bel berbunyi.

Kini, setelah aku besar, aku malah sering
meninggalkannya, bermain bersama teman-teman,
bepergian. Tak pernah aku menungguinya ketika ia
sakit, ketika ia membutuhkan pertolonganku disaat
tubuhnya melemah. Saat aku menjadi orang dewasa, aku
meninggalkannya karena tuntutan rumah tangga.

Di usiaku yang menanjak remaja, aku sering merasa malu
berjalan bersamanya. Pakaian dan dandanannya yang
kuanggap kuno jelas tak serasi dengan penampilanku
yang trendi. Bahkan seringkali aku sengaja
mendahuluinya berjalan satu-dua meter didepannya agar
orang tak menyangka aku sedang bersamanya.

Padahal menurut cerita orang, sejak aku kecil ibu
memang tak pernah memikirkan penampilannya, ia tak
pernah membeli pakaian baru, apalagi perhiasan. Ia
sisihkan semua untuk membelikanku pakaian yang
bagus-bagus agar aku terlihat cantik, ia pakaikan juga
perhiasan di tubuhku dari sisa uang belanja
bulanannya. Padahal juga aku tahu, ia yang dengan
penuh kesabaran, kelembutan dan kasih sayang
mengajariku berjalan. Ia mengangkat tubuhku ketika aku
terjatuh, membasuh luka di kaki dan mendekapku
erat-erat saat aku menangis.

Selepas SMA, ketika aku mulai memasuki dunia baruku di
perguruan tinggi. Aku semakin merasa jauh berbeda
dengannya. Aku yang pintar, cerdas dan berwawasan
seringkali menganggap ibu sebagai orang bodoh, tak
berwawasan hingga tak mengerti apa-apa. Hingga
kemudian komunikasi yang berlangsung antara aku
dengannya hanya sebatas permintaan uang kuliah dan
segala tuntutan keperluan kampus lainnya.

Usai wisuda sarjana, baru aku mengerti, ibu yang
kuanggap bodoh, tak berwawasan dan tak mengerti
apa-apa itu telah melahirkan anak cerdas yang mampu
meraih gelar sarjananya. Meski Ibu bukan orang
berpendidikan, tapi do’a di setiap sujudnya,
pengorbanan dan cintanya jauh melebihi apa yang sudah
kuraih. Tanpamu Ibu, aku tak akan pernah menjadi aku
yang sekarang.

Pada hari pernikahanku, ia menggandengku menuju
pelaminan. Ia tunjukkan bagaimana meneguhkan hati,
memantapkan langkah menuju dunia baru itu. Sesaat
kupandang senyumnya begitu menyejukkan, jauh lebih
indah dari keindahan senyum suamiku. Usai akad nikah,
ia langsung menciumku saat aku bersimpuh di kakinya.
Saat itulah aku menyadari, ia juga yang pertama kali
memberikan kecupan hangatnya ketika aku terlahir ke
dunia ini.

Kini setelah aku sibuk dengan urusan rumah tanggaku,
aku tak pernah lagi menjenguknya atau menanyai
kabarnya. Aku sangat ingin menjadi istri yang shaleh
dan taat kepada suamiku hingga tak jarang aku membunuh
kerinduanku pada Ibu. Sungguh, kini setelah aku
mempunyai anak, aku baru tahu bahwa segala kiriman
uangku setiap bulannya tak lebih berarti dibanding
kehadiranku untukmu. Aku akan datang dan menciummu
Ibu, meski tak sehangat cinta dan kasihmu kepadaku.
(Bayu Gautama, Untuk Semua Ibu Di Seluruh Dunia)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]



<< Home